Pertanyaan tentang cita-cita akan
semakin sulit saat kita beranjak makin dewasa..begini
Medina, apa cita-cita mu?
Medina kecil menjawab “mau jadi guru,
mau ajar dedek-dedek kecil”
Medina mau jadi apa?
Medina yang mulai remaja menjawab
“mau jadi guru”
Loh, kok gak mau jadi orang kaya aja?
Medina mulai ragu, “emang kalo jadi
guru gak bisa kaya yah?”
Kalau kamu kerjanya di Jakarta sih
bisa kaya
“yaudah deh aku mau jadi guru di
Jakarta aja”
“Mei, lo mau jadi apa?” tanya seorang
teman SMA kepada ku
“apa aja deh, yang penting halal dan
kaya hahahaha” jawab medina yang sekarang lupa sama sekali dengan mimpi masa
kecilnya
“Eh gila si Bu A narikin duit
fotokopi 3rb coba, padahal Cuma beberapa lembar gini”
“Woi mei, lo pilih jurusan
apa..bentar lagi SNMPTN nih”
“Gue hukum aja deh, cari kerjanya
gampang. Gak banyak itung-itungan juga”
“Yakin lo Hukum, emang keluarga lo
ada yang hukum?”
“Gak ada sih, keluarga gue bisnis
semua, gak ada basic hukum sama sekali”
“Susah mei kalo lo mau terjun ke
dunia hukum tapi lo gak ada link, bisa-bisa lo kalah sama yang main belakang”
“ah, serius lo? Pantesan hukum di
Indonesia ancur banget yah haha, tapi gak apa-apa lah, siapa tau gue bisa buat
perubahan :p”
“gaya lo, kaya politisi aja, liat
uang satu koper juga mangap lo”
“wkwkwkw iya sih, ya Bismillah aja
deh, kalo gakuat gue ikutan bisnis aja hahah”
“Bisnis pasal? Apa bisnis kekuasaan?
Hahaha”
“…” dan aku menyadari, ini pilihan
yang sangat berani apabila aku ingin benar-benar jadi seseorang yang lurus
Dan semua berawal dari Pak Artidjo
Alkostar
“Kamu mau jadi apa mbak?” tanya
beliau kepada ku, dengan tatapan senyum sangat kecil penuh arti. Bahkan aku
tidak tahu itu senyum atau hanya pertanyaan dosen yang meledek mahasiswanya
“saya mau jadi pengacara atau bisnis
saja pak” jawab ku ragu
“kenapa kamu gak mau jadi jaksa? Saya
lihat kamu aktif di kelas dan punya potensi”
“wah, saya gak berani masuk kejaksaan
pak. Disana agak sulit sepertinya, kalau saya mau jujur pasti saya akan
dihambat kariernya, kalau saya mau ikut atasan, saya rasa saya bukan tipe orang
yang bisa disuruh-suruh pak. Lagipula jam kerja jaksa terlalu padat, nanti
anakn saya tidak terurus” jawab ku sedikit lebih percaya diri atas pujian kecil
tersebut
“sebenarnya tidak sepenuhnya benar
dan pasti bisa dirubah, tidak perlu takut. Tapi oke saya hargai jawaban kamu
yang kedua. Tapi bagaimana dengan hakim? Kamu tidak tertarik? Hakim itu sudah
lembaga sendiri, tidak boleh ada intervensi siapapun, independent, benar-benar
fakta dan keyakinan saja” jawab beliau dengan senyum yang sedikit lebih hangat
“saya takut memberi putusan tidak
adil pak, saya sangat takut. Saya tidak merasa cukup bijaksana untuk membuat
putusan yang sangat berat tersebut” jawab ku jujur dengan keraguan ku
“kalau semua orang baik dan pintar tidak
mau jadi hakim hanya karena dia takut memberi putusan yang tidak adil, ya
jangan kaget kalau orang-orang yang tidak punya rasa takut yang ujung-ujungnya
menjadi hakim” tutupnya dengan senyum penuh arti
“…” aku diam, speechless..seperti
tamparan kata-kata..aku..benar..aku tidak boleh membiarkan mereka jadi
hakim..setidaknya aku harus terus memperkuat rasa takutku ini hingga karier ku
nanti..aku..ntah pengacara, jaksa atau hakim..aku harus mempertahankan rasa
takut ini..agar aku bisa membuat perubahan bagi negeri ini