Sunday, 7 April 2013

cita-cita?


Pertanyaan tentang cita-cita akan semakin sulit saat kita beranjak makin dewasa..begini
Medina, apa cita-cita mu?
Medina kecil menjawab “mau jadi guru, mau ajar dedek-dedek kecil”

Medina mau jadi apa?
Medina yang mulai remaja menjawab “mau jadi guru”
Loh, kok gak mau jadi orang kaya aja?
Medina mulai ragu, “emang kalo jadi guru gak bisa kaya yah?”
Kalau kamu kerjanya di Jakarta sih bisa kaya
“yaudah deh aku mau jadi guru di Jakarta aja”

“Mei, lo mau jadi apa?” tanya seorang teman SMA kepada ku
“apa aja deh, yang penting halal dan kaya hahahaha” jawab medina yang sekarang lupa sama sekali dengan mimpi masa kecilnya
“Eh gila si Bu A narikin duit fotokopi 3rb coba, padahal Cuma beberapa lembar gini”

“Woi mei, lo pilih jurusan apa..bentar lagi SNMPTN nih”
“Gue hukum aja deh, cari kerjanya gampang. Gak banyak itung-itungan juga”
“Yakin lo Hukum, emang keluarga lo ada yang hukum?”
“Gak ada sih, keluarga gue bisnis semua, gak ada basic hukum sama sekali”
“Susah mei kalo lo mau terjun ke dunia hukum tapi lo gak ada link, bisa-bisa lo kalah sama yang main belakang”
“ah, serius lo? Pantesan hukum di Indonesia ancur banget yah haha, tapi gak apa-apa lah, siapa tau gue bisa buat perubahan :p”
“gaya lo, kaya politisi aja, liat uang satu koper juga mangap lo”
“wkwkwkw iya sih, ya Bismillah aja deh, kalo gakuat gue ikutan bisnis aja hahah”
“Bisnis pasal? Apa bisnis kekuasaan? Hahaha”
“…” dan aku menyadari, ini pilihan yang sangat berani apabila aku ingin benar-benar jadi seseorang yang lurus

Dan semua berawal dari Pak Artidjo Alkostar
“Kamu mau jadi apa mbak?” tanya beliau kepada ku, dengan tatapan senyum sangat kecil penuh arti. Bahkan aku tidak tahu itu senyum atau hanya pertanyaan dosen yang meledek mahasiswanya
“saya mau jadi pengacara atau bisnis saja pak” jawab ku ragu
“kenapa kamu gak mau jadi jaksa? Saya lihat kamu aktif di kelas dan punya potensi”
“wah, saya gak berani masuk kejaksaan pak. Disana agak sulit sepertinya, kalau saya mau jujur pasti saya akan dihambat kariernya, kalau saya mau ikut atasan, saya rasa saya bukan tipe orang yang bisa disuruh-suruh pak. Lagipula jam kerja jaksa terlalu padat, nanti anakn saya tidak terurus” jawab ku sedikit lebih percaya diri atas pujian kecil tersebut
“sebenarnya tidak sepenuhnya benar dan pasti bisa dirubah, tidak perlu takut. Tapi oke saya hargai jawaban kamu yang kedua. Tapi bagaimana dengan hakim? Kamu tidak tertarik? Hakim itu sudah lembaga sendiri, tidak boleh ada intervensi siapapun, independent, benar-benar fakta dan keyakinan saja” jawab beliau dengan senyum yang sedikit lebih hangat
“saya takut memberi putusan tidak adil pak, saya sangat takut. Saya tidak merasa cukup bijaksana untuk membuat putusan yang sangat berat tersebut” jawab ku jujur dengan keraguan ku
“kalau semua orang baik dan pintar tidak mau jadi hakim hanya karena dia takut memberi putusan yang tidak adil, ya jangan kaget kalau orang-orang yang tidak punya rasa takut yang ujung-ujungnya menjadi hakim” tutupnya dengan senyum penuh arti
“…” aku diam, speechless..seperti tamparan kata-kata..aku..benar..aku tidak boleh membiarkan mereka jadi hakim..setidaknya aku harus terus memperkuat rasa takutku ini hingga karier ku nanti..aku..ntah pengacara, jaksa atau hakim..aku harus mempertahankan rasa takut ini..agar aku bisa membuat perubahan bagi negeri ini

Politik (terlalu) dini


Jujur, aku tipe orang yang agak malas berkecimpung dengan dunia politik, namun aku tidak bisa menepikan, bahwa hukum sangat berkaitan erat dengan politik. Bahkan tidak munafik kalau aku katakana bahwa hukum di Indonesia masihlah hasil produk politik. Hukum akan sangat berpengaruh dengan siapa yang memegang kekuasaan.  Kemalasan ku terhadap politik semakin besar ketika teman-teman ku mulai membicarakan politik. Ada seseorang yang sangat membela Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini dengan berapi-api. Semula aku sempat takjub, aku kira dia adalah orang yang sangat mengikuti perkembangan berita..oh tidak, bukan berita, karena pers selalu bisa menggiring opini public yang mungkin bertolak belakang dengan keadaan yang sebenarnya..dan disitu aku merasa, sungguh hebat teman-teman ku ini mereka mampu mencari fakta senriri, tidak terpengaruh oleh pers. Tidak seperti aku yang terlalu emosional terhadap pers.
            Tapi ternyata..jeng jeng jeng, aku yang saat itu masih semester II telah ‘bodoh’ dan terlalu cepat menilai. Aku mendengarkan omongan mereka, tanpa aku ketahui siapa mereka, bagaimana latar belakang mereka. Aku terlalu lugu dalam hal ini dan ahirnya pada semester III aku baru tahu kalau ayah teman ku itu salah satu ‘orang penting’ di partai pemenang pemilu periode lalu tersebut. Aku terlalu naïf untuk menyadari bahwa politik adalah sesuatu yang sangat kompeks. Politik tidak hanya mempengaruhi orang tua mereka, politik bahkan telah ‘mempengaruhi’ cara berfikir anak-anak para politisi tersebut. Memang hingga kini aku tidak tahu persis siapa yang benar dan tidak, tapi satu hal yang aku yakini. Semua orang pasti berpolitik, semua..semuaa..tanpa mengenal batas usia. Setiap orang selalu punya motivasi tersendiri dalam melakukan sesuatu, ntah itu motivasi baik ataupun buruk