Saturday 17 September 2016

Ikhlas..

Ikhlas.. 
Hajar masih terus mengejar sambil menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit, "Apakah ini perintah Tuhanmu?" Kali ini Ibrahim, sang khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim. Butir pasir seolah terpaku kaku. Angin seolah berhenti mendesah. Pertanyaan, atau lebih tepatnya gugatan Hajar membuat semua terkesiap. 
Ibrahim membalik tubuhnya, dan berkata tegas, "Iya!". Hajar berhenti mengejar. dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata dari bibirnya, yang mengagetkan semuanya: malaikat, butir pasir dan angin.  "Jikalau ini perintah dari Tuhanmu, pergilah, tinggalkan kami di sini. Jangan khawatir. Tuhan akan menjaga kami." Ibrahim pun beranjak pergi. Dilema itu punah sudah. Ini sebuah pengabdian, atas nama perintah, bukan sebuah pembiaran. Peristiwa Hajar dan Ibrahim ini adalah romantisme keberkahan.
Itulah ikhlas. Ikhlas adalah wujud sebuah keyakinan mutlak pada Sang Maha Mutlak. Ikhlas adalah kepasrahan bukan  mengalah apalagi menyerah kalah. Ikhlas itu adalah engkau sanggup berlari melawan dan mengejar, namun engkau memilh patuh dan tunduk. Ikhlas adalah sebuah kekuatan menundukkan diri sendiri dari semua yang engkau cintai. Ikhlas adalah memilih jalanNya, bukan karena engkau terpojok tak punya jalan lain. Ikhlas bukan lari dari kenyataan. Ikhlas bukan karena terpaksa. Ikhlas bukan merasionalisasi tindakan, bukan mengalkulasi hasil akhir. Ikhlas tak pernah berhitung. Ikhlas tak pernah pula menepuk dada. Ikhlas itu tangga menujuNya. Ikhlas itu mendengar perintahNya dan menaatiNya. Ikhlas adalah ikhlas. Titik.
"Belum cukupkah engkau memahami apa itu ikhlas dari diamnya Hajar dan perginya Ibrahim?"
Dan aku, kamu, serta kita....semuanya tertunduk pasrah bersama Malaikat, butir pasir dan angin. 
Tabik,

Nadirsyah Hosen
meng-Hajar-kan pertanyaan, meng-Ibrahim-kan jawaban
8 Zulhijah 1437H